RIZQI KUSTANTI
Program Studi PIAUD Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah
PP.
Suryalaya Kp. Godebag Ds. Tanjungkerta Kab.Tasikmalaya 46158
riqikustanti@rocketmail.com
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi
dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau
kelompok lain. Perkembangan empati muncul didahului dengan adanya simpati,
yaitu sikap emosional yang menaruh hati kepada orang lain sehingga merasa suka,
merasa senang kepada orang lain. Memang banyak orang masih kebingungan memaknai
arti simpati dan empati, wajar, karena simpati dan empati berhubungan dengan
emosi yang sama.
Bagaimana tahap perkembangan empati anak usia
dini?
Pada dasarnya
perkembangan empati bayi telah dimulai pada masa bayi ketika bayi dalam pelukan
orang tuanya, sehingga muncul ikatan emosi antara bayi dan orang tuanya.
Pelajaran yang dialami ini merupakan pondasi untuk pembelajaran tentang kerja
sama dan syarat-syarat agar dapat diterima dengan baik dalam keanggotaan
kelompok. Kemudian empati berkembang sesuai dengan peningkatan usia dan
stimulus yang diperoleh dari
lingkungannya, semakin banyak stimulus yang diberikan semakin
meningkat perkembangan empatinya.
Perkembangan empati sudah dimulai sejak bayi, pada waktu bayi lahir akan
gelisah karena terganggu mendengar ada bayi yang lain menangis. Ketika bayi yang berusia 11 bulan melihat anak yang
lain jatuh, kemungkinan bayi ini akan menangis, dan prilakunya menyerupai anak
yang jatuh misalnya menghisab ibu jari dan langsung bersandar ke pangkuan
ibunya. Reaksi yang ditampilkan bayi tersebut adalah empati dasar yang dimiliki
bayi untuk perkembangan empati selanjutnya.
Menurut Shapiro, perkembangan empati
yang dialami anak usia dini menjadi empat tahapan
a.
Empati emosi
Menurut pakar psikologi perkembangan, (Hoffman) menerangkan bahwa empati
ini adalah empati global, karena ketidakmampuan anak-anak membedakan antara
diri sendiri dan dunianya, sehingga menafsirkan rasa tertekan bayi lain sebagai
rasa tertekannya sendiri. Bayi (0 – 1 tahun) akan mecoba melihat bayi lain yang
menangis dan sering sampai ikut menangis.
b.
Empati egosentrik
Anak (1 – 2 tahun), pada usia ini seorang anak sudah mampu melihat dengan
jelas kesusahan orang lain bukan kesusahannya sendiri. Secara naluriah akan
mencoba meringankan beban penderitaan orang lain. Misalnya seorang bayi (16
bulan) akan menawarkan mainannya kepada ibunya/temannya yang sedang sedih. Tetapi
perkembangan kognitifnya belum matang, anak seusia ini mengalami kebingungan
dalam berempati karena tidak begitu yakin dengan apa yang dilakukannya.
c.
Empatik kognitif
Anak (6 tahun) ditandai dengan kemampuan memandang sesuatu dengan
perspektif orang lain. Misalnya pada usia ini
memungkinkan seorang anak sudah memahami kapan harus mendekati atau
menjauhi ketika temannya sedang sedih.
d.
Empatik abstrak
Anak (10 – 12 tahun) mengembangkan emosinya tidak hanya kepada orang yang
dikenalnya saja, tetapi terhadap orang yang belum dikenal sebelumnya.
Pada hakekatnya anak-anak sudah memiliki empati masing-masing pada dirinya secara naluriah, sedangkan perkembangan selanjutnya tergantung seberapa besar orang
tua atau orang yang paling dekat dengan anaknya mampu memberikan stimulus atau rangsangan
terhadap perkembangan empati tersebut.
Menurut para ahli
psikologi perkembangan anak, bahwa seorang bayi mengalami stres, bahkan bayi
pun telah menyadari bahwa ia telah ditinggal pergi orang lain. Anak usia dini merupakan masa yang paling peka,
maka apabila mendapat rangsangan atau stimulus , maka
pertumbuhan otak dan mental anak akan mencapai kesempurnaan, keadaan akan
mempengaruhi keberhasilan tugas
perkembangan anak selanjutnya.
Dengan demikian perkembangan
empati seorang anak akan tergantung dari stimulus atau rangsangan orang-orang
yang terdekat dengannya. Jika anak mendapat stimulus rangsangan yang
sebagaimananya sudah tentu perkembangan empatinya akan terasah. Oleh sebab itu, para orang tua sangat dianjurkan untuk menanamkan sifat
empati kepada anak.
Oleh karena itu orang tua atau lingkungan
sekolah merupakan agen pengembangan empati seorang anak. Dengan demikian orang
tua, guru (lembaga pendidika) atau orang orang yang dekat dengan anak harus
menjadi suri tauladannya. Orang tua bisa merangsang perkembangan empati dari
hal-hal yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengajak anak
menjenguk orang sakit, mengajak anak bershodaqoh kepada fakir miskin, melatih
mendengarkan kesulitan orang lain, menanamkan saling menyayangi dan saling
mengasihi dan lain sebagai. Selain itu juga berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mengembangkan empati di rumah diantaranya dengan bercerita/mendongeng,
bernyanyi, bersajak, dan berkarya wisata yang disesuaikan dengan kemampuan
taraf berpikir anak agar mudah diterima dan dipahami.
Agar anak-anak sebagai generasi penerus bangsa
diharapkan memiliki perilaku yang sesuai
harapan lingkungannya, orang tua, keluarga atau guru-guru di sekolah mampu
mendampingi anak-anak nya di mana pun
berada dan kapan waktu. Berikan rangsangan atau stimulan yang baik dan sesuai
dengan perkembangan usianya dengan harapan anak-anak dapat berkembang ke arah
yang lebih baik sebagai tunas harapan nusa, bangsa dan agama
Daftar pustaka
Novan Ardy Wiyani, Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, Cetakan 1 Yogyakarta Gava
Media 2014
Shapiro. L.E, Mengajarkan emosional Intelegensi pada anak,
Terj. Alex. T. (Jakarta :
Gramedia Pustaka, 1997)
Taufiq L.W., Hubungan empati dengan intensi prososial
pada siswa siswi Muhamadiyah Mataran (Surakarta: Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2000)
Hurlock, E. B.
(1991). Perkembangan anak. Edisi
keenam. Jakarta. Erlangga.
0 Komentar