RUMAH "MADRASAH" PERTAMA BAGI ANAK
Rumah
merupakan tempat yang paling bersejarah untuk kehidupan seorang manusia. Rumah tempat yang selalu menyimpan sejuta
kenangan, rumah bukan hanya sebuah
tempat tinggal namun juga saksi bisu tumbuh kembangnya seorang anak.
Pada umumnya rumah dihuni oleh keluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan anak
(keluarga inti) atau keluarga besar (keluarga inti ditambah dengan nenek-kakek,
tante oom atau lain sebagainya). Rumah merupakan tempat pertama yang dikenal
oleh seorang anak, sehingga rumah menjadi tempat yang pertama dan utama bagi
tumbuh kembang seorang.
Mengapa
keluarga menjadi guru pertama dan guru utama bagi seorang anak?
Rumah
adalah madrasah pertama, di tempat ini anak mulai belajar mengenal segala hal
baru dalam hidupnya. Rumah/keluarga adalah agen sosialisasi pertama dan utama
bagi perkembangan seorang anak. Sosialisasi merupakan proses belajar penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai
dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau
masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena
dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh anak.
Sosialsasi merupakan proses
sepanjang hidup manusia, Sehingga mau seperti apa kelak anak tergantung
dari sosialisasinya di rumah atau keluarga,
Rumah sebagai madrasah perttama, berimplikasi bahwa orang tua (keluarga inti/keluarga besar) merupakan
guru pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh
karena itu pandangan rumah dan PAUD
harus selaras, sehingga menjadikan rumah sebagai sekolah awal sebelum PAUD.
dalam hal ini PAUD lah yang harus menjadi lebih berperan aktif dalam
memimplementasikan kurikulum pendidikan untuk menyelaraskan dengan kegiatan
anak di rumah. Agar kegiatan di rumah selaras tidak bertentangan dengan
kegiatan belajar di PAUD.
Banyak
cara dilakukan lembaga pendidikan dalam rangka mencapai hal tersebut, baik yang
secara formal maupun nonformal. Salah satu bentuk pertemuan formalnya misalnya
agenda pertemuan orang tua yang siswa
(satu bulan sekali) yang dihadiri oleh orang tua siswa dan guru-guru PAUD. Dengan
penyelarasan persepsi antara kegiatan di rumah dan program PAUD akan membantu
tumbuh kembang anak secara efektif. Atas dasar ini, berhasil tidaknya PAUD
salah satu lembapa pendidikan dalam mencerdakan siswanya, sangat tergantung
pada efektitas di rumah, sebagai “madrasah” pertama dan utama bagi tumbuh
kembang seorang anak. Karena seorang anak banyak menghabiskan waktunya adalah
di rumah bila dibandingkan belajarnya di PAUD. Hanya persoalan tidak sampai di
sini, tidak hanya ditentukan oleh persepsi yang sama antara orang tua dan PAUD
semata.
Rumah
seperti apakah yang efektif sebagai
sebagai madrasah?
Pertumbuhan
dan perkembangan pada anak usia dini dipengaruhi faktor dan lingkungan dan
perubahannya tidak terjadi tidak serta
merta dalam satu waktu, tetapi melalui tahap yang telah ditentukan dan
ukurannya berjalan dalam proses yang berangsur-angsur Tentunya adalah rumah
yang dihuni oleh keluarga harmonis, keluarga dimana didalamnya tercipta
kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling
pengertian, saling menjaga dan saling mengasihi, saling percaya sehingga
memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara seimbang dengan baik. Sehingga
keluarga/ orang tua wajib menjaga dan melindungi, memberikan kesejahteraan,
memberikan pendidikan dan keterampilan serta membekali dengan pendidikan agama
dan moral. Menurut sosiologi keluarga sebagai
penghuni rumah memiliki fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi proteksi atau perlindungan, fungsi ekonomi, fungsi religius dan fungsi pendidikan.
Tetapi
kenyataannya tidak semua rumah yang dihuni
keluarga di seperti itu. Permasalahan di rumah banyak sekali, keluarga
yang orang tuanya cerai, keluarga yang orang tuanya selalu cekcok, bertengkar
hingga keluarga mengalami KDRT (kekerasan Dalam rumah tangga), orang tua (suami
istri) sibuk bekerja sehingga anak terlantar. Anak
kehilangan kasih sayang, kehilang tempat yang aman, anak akan banyak meniru
prilaku orang tuanya. Rumah bagaikan neraka, bukan lagi tempat yang
nyaman dan hangat lagi untuk anak. Maka rusaklah rumah sebagai “madrasah”
pertama dan utama tersebut. Jika madrasahnya telah rusak bahkan hancur, anak
didiknya sudah tentu akan mengalami rusak bahkan mengalami kehancuran.
Dengan
demikian, rumah yang didalamnya keluarga tidak hormanis, bahkan cerai berai
tidak akan menjadi madrasah yang efektif bagi anak karena madrasah pertamanya
telah rusak dan demikian anak juga anak
ikut rusak. Paud tempat dimana anak anak yang rusak itu tidak berjalan efektik,
karena anak yang rusak itu kesulitan dalam bersosialisasi, malas bermain, sulit
bernyanyi bahkan memiliki prilaku yang tidak baik contoh agresif, pemurung,
pemalas dan sebagainya.
Inilah
sebabnya mengapa kunci efektitas PAUD tergantung pada efektitas rumah sebagai
madrasah pertama bagi anak. Lebih dari dari konsekwensi rumah menjadi madrasah
pertama bagi anak, dengan demikian orang tua merupakan guru pertama bagi anak.
Kaidah ini (, orang tua guru pertama bagi anak) merupakan kodrat, orang tidak
mempunyai pilihan lain kecuali menjalankan tugas orang tuanya terhadap anak
yang sudah dilahirkannya. Oleh karena jika keluarga tidak harmonis akan
mempengaruhi keberhasilan pendidikan di keluarga tersebut. Bahkan jika keluarga yang ayah ibunya cerai, yang
menjadi korban pertamanya anak, bukan ayah ibunya.
Fenomena
jaman sekarang yang sangat mengkhawatirkan sekali adalah anak anak yang
terlahir di luar nikah (hamil sebelum nikah) dan anak terlahir tanpa ayah. Fenomena ini
melahirkan anak-anak yang tidak kalah sulit dididik bila dibandingkan dengan
korban orang tua yang cerai. Anak
anak akan mengalami tekanan mental yang sangat berat, dan akan lebih diperburuk
lagi bila ada stigma masyarakat sebagai “anak haram” yang melekat pada dirinya.
Akibatnya tumbuh kembang anak menjadi terhambat, bahkan ia akan merasa hina,
kotor, rendah diri dan sebagainya. Anak-anak
terlahir dari rumah yang di huni oleh keluarga kurang harmonis, rumah tangga
yang penuh kekerasan atau anak-anak yang terlahir diluar nikah atau tanpa ayah
merupakan hambatan yang besar bagi para guru di PAUD untuk mengembangkan kemanpuan
kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
Oleh
karena itun jika, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ingin berjalan ideal, penguatan
keluarga di rumah sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Penguatan-penguatan lain yang perlu dilakukan oleh PAUD
adalah menjalin kerjasama dengan lembaga kesehatan, ahli gizi, lingkungan
sekitar dan masyarakat.
Pola penguatan PAUD terhadap berbagai
pihak
B.
Louise Tarulla dalam Mary Eming Young (ed) menggambarkan urgensi orang tua dan
lembaga lainnya seperti sebuah piramida di atas. Dapat dilihat bahwa untuk
menghasilkan peserta didik yang berkompeten, lembaga PAUD harus menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak, terutama orang tua, lingkungan atau masyarakat
sekitar, dan ahli kesehatan (dokter) termasuk dalam hal ini adalah psikolog
anak. Kerjasama berbagai pihak tersebut akan menciptkan PAUD seaktif mungkin
sehingga outcomes atau anak didik
mempunyai kompetensi yang memadai.
Tujuan
utama dari pendidikan keluarga tersebut adalah optimalisasi perkembangan anak
atau dalam istilah Lousi B. Tarollo pada gambar di atas disebut kompetensi
anak. Karena orang tua adalah guru pertama dan rumah telah menjadi “madrasah”
utama bagi anak maka agar sekolah tersebut efektif perlu dirumuskan tujuannya.
Optimalnya perkembangan atau kompetensi anak tersebut meliputi jasmani, akal
dan rohani. Hal ini juga penyelenggaraan PAUD, bertujuan untuk mengembangkan
berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan salah satu prinsipnya adalah belajar
sambil bermain
. Di rumah maupun di sekolah (PAUD) dalam hal ini,
baik, kegiatan utama yang menunjang tujuan pendidikan bagi anak usia dini adalah
bermain. Kegiatan belajar pada anak usia dini ini berbeda dengan anak lainnya. Walaupun
hanya bermain, tetapi bagi anak-anak permainan bukanlah dunia permainan.
Anak-anak melakukan permainan dengan sangat serius dan bersungguh-sungguh.
Dengan kata lain, mereka sungguh-sungguh bermain. Bahkan menurut Ahmad Tafsir,
bermain adalah keinginan anak secara naluriah (Ahmad Tafsir, 2005). Inilah
alasannya anak-anak seringkali lebih mementingkan bermain daripada makan dan
minum. Melalui kegiatan bermain, mereka diajak untuk mengeksplor, menemukan,
memanfaatkan dan mengambil kesimpulan dari berbaagi benda yang ada disekitarnya
seta berbagai peristiwa yang melingkupinya.
Dalam ilmu jiwa, teori bermain ini
mendapat perhatian yang cukup luas dan mendalam. Ada jenis-jenis mainan untuk
pembinaan psikomotorik, dan tidak menutup kemungkinan ada juga mainan untuk
membina perkembangan spiritualitas anak. Keberadaan Taman Pintar di Yogyakarta,
misalnya, merupakan contoh konkret dalam hal ini. Entah ada berapa puluh bahkan
berapa ratus jenis permainan yang ada disana, tetapi yang jelas tujuan
dibangunnya Taman Pintar tersebut adalah untuk “memintarkan” anak dengan cara
bermain, baik pintar secara intelektual, moral, sosial, maupun spiritual.
Sampai
kapankah anak-anak senang bermain?
Tidak ada batasan yang jelas, karena “anak”
dewasa bahkan orang tua pun masih senang dengan permainan. Hanya saja, jenis
permainannya yang berbeda. Fahmi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir
menyatakan bahwa melarang anak-anak bermain dan memaksanya belajar
terus-menerus dapat mematikan hatinya dan menghilangkan kecerdasannya dan seta
menyukarkan hidupnya (Ahmad Tafsir, 2005). Kartena sifat permainan yang sangat
penting ini, sampai-sampai Ahmad Tafsir mempunyai gagasan yang sangat brilian,
yaitu membuka konsultan permainan anak di setiap kota di seluruh pelosok tanah
air ini. Tujuannya, supaya para konsultan tersebut dapat menentukan jenis
permainan terbaik untuk anak-anak, karena sering kali anak mempunyai
kecenderungan bermain yang berbeda-beda. Namun, orang tua yang mempunyai
keahlian di bidang itu masih sangat jarang. Dengan demikian, penguatan orang
tua terhadap pentingnya bermain bagi anak tidak boleh ditawar-tawar lagi.
|
Daftar Pustaka
Hurlock, Elizabeth B. 1995. Perkembangan Anak. Jilid
1 & 2. Jakarta. Penerbit Erlangga. Terjemahan, Editor Agus Dharma Judul
asli : Child Development.
Novan Ardy Wiyani, Psikologi
Perkembangan Anak Usia Dini, Cetakan 1 Yogyakarta Gava Media 2014
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam
Persepktif Islam, Cet.VI Bandung: PT
Rosdakarya
Suyadi. 2012. Konsep Dasar Paud. Penerbit Rosdakarya